
Kabarjawa – Setiap menjelang Ramadan, Kudapan Khas Semarang yang Jadi Ikon Tradisi Dugderan. Tradisi ini tidak hanya menjadi penanda datangnya bulan suci, tetapi juga membawa berbagai kuliner khas yang melegenda.
Salah satu kudapan yang identik dengan Dugderan adalah kue ganjel rel. Kue berwarna cokelat ini memiliki bentuk unik menyerupai bantalan rel kereta api dan memiliki rasa khas yang kaya rempah.
Namun, di balik kelezatannya, kue ganjel rel menyimpan sejarah panjang yang berkaitan dengan pengaruh budaya Belanda serta perkembangan kuliner di Indonesia.
Meski sempat langka, kini kue ini kembali populer berkat upaya para pelestari tradisi. Simak kisah lengkapnya berikut ini!
Asal-Usul Kue Ganjel Rel
Kue ganjel rel memiliki akar sejarah yang terinspirasi dari kuliner Belanda bernama Onbitjkoek. Onbitjkoek sendiri merupakan kue rempah yang kaya akan rasa jahe, kayu manis, cengkeh, dan kembang lawang. N
amun, pada masa kolonial, bahan-bahan seperti tepung terigu dan kacang almond sulit didapat oleh masyarakat pribumi. Sebagai alternatif, mereka menggunakan gaplek atau singkong kering sebagai bahan dasar utama.
Dengan kombinasi gula jawa dan rempah-rempah, terciptalah versi lokal dari Onbitjkoek yang kemudian dikenal sebagai kue ganjel rel. Nama tersebut muncul karena teksturnya yang padat dan bentuknya yang menyerupai bantalan rel kereta api.
Perkembangan dan Kepopuleran Kue Ganjel Rel
Pada tahun 1970-an, kue ganjel rel mulai berkembang pesat dan menjadi bagian dari tradisi kuliner di Semarang. Sayangnya, sejak 1990-an, kue ini semakin jarang ditemukan di pasaran. Hal ini disebabkan oleh perubahan tren makanan serta berkurangnya jumlah produsen yang membuatnya.
Namun, pada tahun 2009, Masjid Agung Kauman Semarang bersama Wali Kota Semarang berinisiatif menghidupkan kembali tradisi ini dengan menjadikan kue ganjel rel sebagai bagian resmi dari perayaan Dugderan. Sejak saat itu, produksi kue ini kembali meningkat, terutama menjelang bulan Ramadan.
Inovasi dalam Produksi Kue Ganjel Rel
Salah satu produsen kue ganjel rel yang berperan dalam pelestarian kuliner ini adalah Aunil Fadlilah. Ia tidak hanya mempertahankan tradisi pembuatan kue, tetapi juga melakukan inovasi agar teksturnya lebih lembut tanpa menghilangkan cita rasa khasnya.
Dengan menambahkan telur ke dalam adonan, kue ini menjadi lebih mudah dikonsumsi tanpa kehilangan keautentikannya.
Setiap tahun, produksi kue ganjel rel mengalami fluktuasi. Pada awalnya, hanya sekitar 500 potong yang dibuat, tetapi jumlah ini terus meningkat hingga mencapai 8.000 potong pada 2019. Meski demikian, pada tahun-tahun tertentu, jumlah produksi bisa menurun tergantung pada kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah.
Dampak Ekonomi bagi UMKM
Selain sebagai ikon budaya, kue ganjel rel juga memberikan manfaat ekonomi bagi pelaku usaha kecil. Dalam proses produksinya, beberapa UMKM dilibatkan untuk memenuhi permintaan yang meningkat selama perayaan Dugderan. Dengan adanya kerja sama ini, tradisi tidak hanya terjaga, tetapi juga membawa berkah bagi para pelaku usaha lokal.
Pada tahun-tahun sebelumnya, hingga lima UMKM ikut serta dalam produksi kue ganjel rel. Namun, pada tahun ini, jumlahnya dikurangi menjadi tiga UMKM untuk menyesuaikan dengan kondisi ekonomi yang sedang dalam masa transisi.
Kue ganjel rel bukan sekadar kudapan khas Semarang, tetapi juga bagian penting dari sejarah dan budaya kota ini. Dari masa kolonial hingga era modern, kue ini terus berkembang dan menjadi bagian dari perayaan Dugderan.
Berkat inovasi dan dukungan dari berbagai pihak, tradisi ini tetap lestari dan memberikan manfaat bagi masyarakat, baik dari sisi budaya maupun ekonomi.
Dengan terus menjaga dan melestarikan warisan kuliner ini, diharapkan kue ganjel rel tetap eksis dan dikenal oleh generasi mendatang.
Semoga tradisi Dugderan terus berlangsung setiap tahun, membawa semangat kebersamaan serta memperkenalkan kekayaan kuliner khas Semarang ke lebih banyak orang.(Kabarjawa)