Kabarjawa – Upacara Tumplak Wajik merupakan salah satu tradisi yang masih dilestarikan oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat hingga saat ini. Ritual ini memiliki makna penting dalam rangkaian upacara grebeg yang selalu dilaksanakan oleh Keraton Yogyakarta.
Meskipun sudah berlangsung sejak zaman dahulu, upacara tersebut tetap menjadi simbol penting dalam budaya Jawa dan menjadi penanda dimulainya berbagai upacara besar di keraton.
Apa Itu Upacara Tumplak Wajik?
Tumplak Wajik, atau dikenal juga dengan sebutan Numplak Wajik, merupakan upacara yang diawali dengan meletakkan wajik pada tempat yang telah disiapkan sebagai simbol awal dari rangkaian upacara grebeg.
KRT Jatiningrat, Pengageng Tepas Dwarapura Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, menjelaskan bahwa upacara ini menandai dimulainya persiapan untuk gunungan yang akan digunakan dalam perayaan grebeg.
Fungsi dan Makna Tumplak Wajik dalam Tradisi Grebeg
Dalam setiap upacara grebeg yang digelar di Keraton Yogyakarta, Tumplak Wajik selalu menjadi ritual pertama yang dilakukan. Ritual ini menandai dimulainya proses merangkai gunungan, yang kemudian akan diarak dan dibagikan kepada masyarakat. Gunungan tersebut menjadi simbol sedekah dari raja kepada rakyatnya.
Upacara Tumplak Wajik dilakukan dalam tiga kali setahun, bertepatan dengan pelaksanaan Grebeg Mulud untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad, Grebeg Sawal yang menandai akhir bulan puasa, dan Grebeg Besar untuk merayakan Hari Raya Idul Adha.
Setiap kali perayaan grebeg ini digelar, Keraton Yogyakarta mengadakan upacara Tumplak Wajik sebagai bagian penting dari tradisi tersebut.
Perbedaan Gunungan Estri
Salah satu bagian menarik dari upacara tersebut adalah Gunungan Estri (perempuan), yang memiliki ciri khas berbeda dibandingkan dengan gunungan lainnya. Gunungan Estri dilengkapi dengan bakul wajik yang kini disusun berlapis dengan Tiwul.
Wajik, makanan khas terbuat dari ketan yang dimasak dengan gula merah dan santan kelapa, menjadi bagian integral dari gunungan ini. Tiwul, yang terbuat dari singkong kering, juga disusun bersama wajik sebagai bagian dari fondasi gunungan.
Selain itu, bagian atas gunungan, yang disebut mustaka, terdiri dari kue-kue ketan yang ditancapkan pada sujen, batang kecil panjang yang terbuat dari bambu.
Semua elemen ini memiliki makna simbolis, dan menjadi bagian penting dalam memperkaya nilai-nilai budaya yang ada di Keraton Yogyakarta.
Tumplak Wajik bukan hanya sekadar tradisi, melainkan sebuah ritual yang memperlihatkan kedalaman makna budaya di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Ritual ini menjadi simbol penghormatan antara raja dan rakyatnya, serta menandai dimulainya rangkaian acara grebeg yang telah berlangsung sejak zaman dahulu.
Pelaksanaan Tumplak Wajik, dengan segala kekhasan dan simbolismenya, mencerminkan betapa pentingnya mempertahankan tradisi dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta.(Kabarjawa)