
Kabarjawa – Menjelang bulan suci Ramadan, masyarakat di Kabupaten Jember, Jawa Timur, menggelar tradisi unik yang dikenal sebagai Buto-Butoan. Tradisi ini bukan sekadar pertunjukan seni, tetapi memiliki makna filosofis yang mendalam sebagai simbol pengendalian hawa nafsu sebelum memasuki bulan puasa.
Dengan warisan budaya yang telah berlangsung turun-temurun, Buto-Butoan menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat, khususnya di wilayah Jember bagian utara.
Asal-Usul dan Sejarah Tradisi Buto-Butoan
Tradisi Buto-Butoan berakar dari ajaran Islam yang dibawa oleh Wali Songo dalam menyebarkan dakwah di Nusantara. Para wali menggunakan pendekatan budaya dan kesenian agar ajaran Islam lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat.
Dengan memadukan nilai spiritual dengan seni lokal, tradisi ini berkembang sebagai sarana edukasi dan refleksi diri.Wilayah Jember bagian utara, khususnya Desa Jelbuk di Kecamatan Jelbuk, menjadi pusat pelaksanaan tradisi ini.
Penduduk daerah ini mayoritas merupakan keturunan Madura yang bekerja sebagai buruh perkebunan dan memiliki karakter religius yang kuat.
Oleh karena itu, tradisi Buto-Butoan terus bertahan dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
Prosesi dan Makna Simbolis
Dalam pelaksanaan tradisi ini, peserta yang mayoritas terdiri dari anak-anak dan remaja berdandan menyerupai buto atau raksasa.
Tubuh mereka dicat hitam atau warna-warna mencolok, kemudian mereka berkeliling desa sambil menari dan memainkan musik tradisional.
Dalam budaya Jawa, sosok buto sering dikaitkan dengan sifat buruk manusia seperti amarah, keserakahan, dan hawa nafsu.
Oleh karena itu, tradisi Buto-Butoan menjadi simbol bagaimana manusia harus mampu mengendalikan hawa nafsunya, terutama menjelang bulan suci Ramadan.
Selain itu, tradisi ini juga menjadi ajang pelestarian budaya dan sarana mempererat kebersamaan warga.
Melalui Buto-Butoan, masyarakat diajak untuk menyambut Ramadan dengan penuh kegembiraan, kesadaran spiritual, serta ungkapan syukur.
Peran Buto-Butoan dalam Kehidupan Masyarakat
Selain diselenggarakan menjelang Ramadan, tradisi Buto-Butoan juga sering digelar dalam berbagai acara adat seperti pernikahan dan khitanan sebagai hiburan masyarakat.
Hal ini menunjukkan bahwa Buto-Butoan tidak hanya memiliki dimensi spiritual, tetapi juga menjadi bagian dari ekspresi seni dan budaya lokal.
Seiring perkembangan zaman, Buto-Butoan tetap dipertahankan sebagai bentuk warisan budaya yang kaya akan makna. Masyarakat terus melestarikannya agar nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya dapat diwariskan kepada generasi muda.
Tradisi Buto-Butoan di Jember bukan sekadar hiburan, melainkan memiliki pesan moral yang kuat tentang pentingnya pengendalian diri menjelang Ramadan.
Melalui ekspresi seni yang unik ini, masyarakat diajak untuk merefleksikan diri, mempererat kebersamaan, serta melestarikan budaya yang sarat dengan nilai spiritual dan sosial.
Dengan semangat yang terus dijaga, Buto-Butoan akan tetap menjadi simbol kearifan lokal yang relevan di tengah perubahan zaman.(Kabarjawa)