
Kabarjawa – Yogyakarta, sebagai salah satu daerah istimewa di Indonesia, menyimpan banyak cerita sejarah dan tradisi yang unik.
Salah satu simbol budaya yang menarik perhatian adalah Plengkung Gading, sebuah gerbang ikonik yang menjadi bagian dari Keraton Yogyakarta.
Namun, ada sebuah kepercayaan dan aturan menarik yang menyelimutinya: Sultan Yogyakarta yang masih hidup tidak boleh melewati Plengkung Gading.
Mengapa Plengkung Gading memiliki aturan semacam ini? Apa makna di balik larangan tersebut? Artikel ini akan membahas sejarah dan filosofi Plengkung Gading sebagai bagian tak terpisahkan dari tradisi Keraton Yogyakarta.
Sejarah Singkat Plengkung Gading
Plengkung Gading merupakan salah satu dari lima plengkung atau gerbang yang mengelilingi Keraton Yogyakarta.
Gerbang ini terletak di sisi selatan kompleks keraton dan berfungsi sebagai akses menuju kawasan makam Raja-raja Mataram di Imogiri.
Dibangun pada masa Sultan Hamengkubuwono I, Plengkung Gading memiliki nilai historis dan filosofis yang erat kaitannya dengan perjalanan hidup manusia.
Dalam kosmologi Jawa, Plengkung Gading melambangkan gerbang akhir kehidupan. Hal ini karena gerbang ini menjadi jalur utama untuk prosesi jenazah Sultan menuju makam di Imogiri.
Oleh karena itu, Plengkung Gading kerap dianggap sebagai simbol peralihan dari dunia fana ke alam baka.
Larangan Sultan Melewati Plengkung Gading
Larangan Sultan yang masih hidup untuk melewati Plengkung Gading bukanlah aturan tertulis, tetapi merupakan bagian dari tradisi lisan yang dijaga oleh masyarakat dan Keraton Yogyakarta.
Tradisi ini memiliki makna mendalam yang sarat akan filosofi Jawa:
Simbol Kesakralan
Plengkung Gading dianggap sebagai gerbang terakhir yang hanya boleh dilalui oleh Sultan dalam prosesi pemakaman.
Melewati gerbang ini saat masih hidup dianggap sebagai pelanggaran terhadap kesakralan tradisi tersebut.
Makna Kehidupan dan Kematian
Dalam pandangan masyarakat Jawa, kehidupan dan kematian adalah dua hal yang harus dijalani dengan penuh kesadaran.
Larangan ini mencerminkan penghormatan terhadap perjalanan hidup manusia, khususnya seorang Sultan yang dianggap sebagai pemimpin spiritual dan duniawi.
Menjaga Keberkahan
Tradisi ini juga diyakini untuk menjaga keberkahan Sultan selama masa pemerintahannya. Melewati Plengkung Gading sebelum waktunya dapat dianggap sebagai tindakan yang mengundang energi negatif atau nasib buruk.
Filosofi Plengkung Gading dalam Budaya Jawa
Plengkung Gading memiliki warna putih yang melambangkan kesucian. Filosofi ini sejalan dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh Keraton Yogyakarta, yaitu keharmonisan antara kehidupan duniawi dan spiritual.
Dalam tradisi Jawa, perjalanan hidup manusia diibaratkan seperti sebuah siklus. Plengkung Gading menjadi pengingat akan tujuan akhir setiap manusia, yakni kembali kepada Sang Pencipta.
Plengkung Gading di Masa Kini
Saat ini, Plengkung Gading tidak hanya menjadi bagian penting dari tradisi keraton, tetapi juga menjadi destinasi wisata yang populer di Yogyakarta.
Banyak wisatawan yang datang untuk melihat langsung gerbang ini, mengabadikan momen, dan mempelajari sejarah serta filosofi yang terkandung di dalamnya.
Namun, bagi masyarakat Yogyakarta, Plengkung Gading tetap memiliki makna yang sakral. Tradisi yang mengelilinginya tetap dijaga dengan penuh hormat, sehingga nilai-nilai leluhur terus dilestarikan dari generasi ke generasi.
Plengkung Gading bukan sekadar gerbang biasa, tetapi memiliki makna mendalam yang mencerminkan hubungan antara kehidupan dan kematian, kesakralan tradisi, serta filosofi hidup masyarakat Jawa.
Larangan Sultan Yogyakarta untuk melewati Plengkung Gading saat masih hidup adalah bentuk penghormatan terhadap tradisi dan nilai-nilai yang telah diwariskan oleh para leluhur.
Bagi Anda yang berkunjung ke Yogyakarta, jangan lupa menyempatkan diri untuk mengunjungi Plengkung Gading.
Selain menjadi spot bersejarah, tempat ini juga menawarkan pelajaran berharga tentang kearifan lokal dan budaya Jawa yang sarat akan makna.
Semoga artikel ini membantu Anda memahami lebih dalam tentang Plengkung Gading dan nilai filosofis di baliknya.
***