Kabarjawa – Temuan mengenai Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) seluas 656,83 hektare di kawasan laut Sedati, Sidoarjo, telah menjadi sorotan publik. Keberadaan HGB ini memicu pertanyaan terkait legalitas, dampak lingkungan, serta pengelolaan kawasan pesisir. Berita ini bermula dari unggahan seorang akademisi yang menyoroti isu tersebut dan hubungannya dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) Surabaya Waterfront Land (SWL).
Kronologi Temuan HGB di Laut
HGB di atas laut ini pertama kali terungkap melalui unggahan seorang dosen Universitas Airlangga, Mochammad Thanthowy Syamsuddin.
Lahan yang terdaftar sejak 1996 atas nama dua perusahaan, yaitu PT Surya Inti Permata dan PT Semeru Cemerlang, mencakup area di Desa Segoro Tambak, Kecamatan Sedati, Sidoarjo. Sertifikat tersebut berlaku hingga 2026.
Ketiga sertifikat HGB ini masing-masing meliputi 285,16 hektare dan 219,31 hektare untuk PT Surya Inti Permata, serta 152,36 hektare untuk PT Semeru Cemerlang.
Namun, investigasi Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jawa Timur belum memastikan apakah lahan tersebut berupa daratan atau lautan.
Tanggapan Pemerintah Daerah
Pernyataan Wali Kota Surabaya
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, menyatakan bahwa wilayah yang bersertifikat HGB tersebut berada di luar kewenangan Kota Surabaya.
Berdasarkan koordinasi dengan BPN, wilayah tersebut masuk ke Kabupaten Sidoarjo.
Ia menegaskan bahwa Surabaya tetap mempertahankan ekosistem mangrove di pesisir untuk keberlanjutan lingkungan.
Pengakuan Plt Bupati Sidoarjo
Plt Bupati Sidoarjo, Subandi, mengakui adanya HGB di wilayahnya. Namun, ia menyatakan bahwa pemerintah daerah tidak akan memperpanjang izin sertifikat yang telah habis masa berlakunya.
Subandi menegaskan bahwa aturan melarang pemberian HGB di atas lautan.
Potensi Dampak dan Masalah Hukum
Keberadaan HGB di kawasan laut menimbulkan sejumlah isu, di antaranya:
- Pelanggaran Hukum: Berdasarkan regulasi, HGB hanya dapat diberikan pada lahan di atas daratan, bukan lautan. Jika investigasi membuktikan bahwa lahan ini berupa perairan, sertifikat dapat dibatalkan.
- Dampak Lingkungan: Eksploitasi kawasan pesisir dapat merusak ekosistem mangrove, yang berfungsi sebagai pelindung alami terhadap abrasi dan habitat satwa.
- Ketidakjelasan Tata Ruang: Proyek Strategis Nasional seperti Surabaya Waterfront Land (SWL) menuntut revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), yang harus sesuai dengan prinsip keberlanjutan dan melibatkan masyarakat pesisir.
Pandangan Akademisi dan Aktivis
Mochammad Thanthowy Syamsuddin, dosen Universitas Airlangga, mengkritik kurangnya transparansi dalam pengelolaan kawasan pesisir.
Ia menyerukan perlunya keterlibatan masyarakat dan pengawasan ketat terhadap kebijakan strategis, khususnya yang berdampak pada lingkungan dan masyarakat pesisir.
Thanthowy juga menyoroti pentingnya prinsip ekonomi biru dalam pengelolaan sumber daya maritim.
Temuan HGB di kawasan laut Sedati, Sidoarjo, mengungkap pentingnya pengelolaan kawasan pesisir yang berkelanjutan dan sesuai hukum.
Pemerintah daerah dan BPN harus memastikan bahwa kebijakan terkait pengelolaan lahan mengikuti prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan.
Selain itu, revisi RTRW diperlukan untuk memastikan kesesuaian dengan program nasional tanpa mengorbankan ekosistem pesisir.
Melibatkan masyarakat dalam setiap tahap pengambilan keputusan juga menjadi kunci untuk menciptakan kebijakan yang inklusif dan berorientasi pada masa depan.
Dengan langkah yang tepat, keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat pesisir dapat terwujud.(Kabarjawa)