Kabarjawa – Puluhan guru honorer di Jember menghadapi situasi yang mengecewakan setelah pengumuman kelulusan mereka dalam seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dianulir. Mereka merasa dipermainkan oleh kebijakan yang dianggap tidak adil dan membingungkan. Para guru yang sebelumnya dinyatakan lolos kini harus menerima kenyataan pahit setelah nama mereka tergantikan oleh peserta lain, khususnya Tenaga Honorer Kategori 2 (K2).
Proses Seleksi PPPK yang Bermasalah
Proses seleksi PPPK di Jember menuai kontroversi akibat kelalaian panitia pelaksana. Awalnya, sejumlah guru honorer dinyatakan lolos seleksi PPPK setelah memenuhi berbagai persyaratan dan melewati serangkaian tes.
Namun, secara tiba-tiba, nama mereka dianulir dan digantikan oleh peserta dari kategori K2.
Panitia Seleksi Nasional (Panselnas) memang telah memprioritaskan K2 untuk lolos, tetapi keputusan tersebut dinilai tidak semestinya dilakukan dengan cara yang merugikan pihak lain.
Guru honorer yang sudah dinyatakan lolos merasa tidak adil, terutama karena mereka telah mengorbankan waktu, tenaga, dan biaya untuk mempersiapkan dokumen yang diperlukan.
Dampak Kebijakan pada Guru Honorer
Kebijakan ini membawa dampak serius bagi para guru honorer, baik secara materi maupun psikologis.
Banyak dari mereka merasa kehilangan harapan setelah pengumuman kelulusan yang sempat membuat mereka dan keluarga bangga berubah menjadi kekecewaan mendalam.
Salah satu guru, Hasbullah, yang telah mengabdi selama 14 tahun, menyatakan bahwa dirinya merasa syok saat mengetahui pengumuman kelulusan dianulir.
Keluarga dan kerabat yang sempat merayakan kelulusan kini harus menghadapi kekecewaan besar.
Begitu pula dengan Cornelia Martha, seorang guru honorer lain, yang merasa rugi setelah mengorbankan banyak waktu berharga untuk mengikuti proses seleksi.
Permintaan Keadilan dari Para Guru
Para guru yang merasa dirugikan mendatangi Gedung DPRD Jember untuk meminta keadilan. Mereka berharap pemerintah daerah dan pihak terkait dapat memberikan solusi yang adil atas polemik ini.
Tidak hanya merugikan individu, kebijakan ini juga memengaruhi hubungan para guru dengan keluarga mereka. Martha bahkan harus melewatkan momen penting untuk mengantar suaminya yang bertugas ke Lebanon demi memprioritaskan seleksi PPPK.
Para guru menegaskan bahwa usaha dan pengorbanan mereka tidak seharusnya sia-sia karena kelalaian pihak panitia.
Polemik seleksi PPPK di Jember menunjukkan pentingnya transparansi dan profesionalisme dalam setiap tahapan rekrutmen.
Para guru honorer yang telah lama mengabdi pantas mendapatkan kepastian dan keadilan atas jerih payah mereka.
Pemerintah daerah perlu mengambil langkah tegas untuk mengatasi permasalahan ini agar kepercayaan masyarakat terhadap proses rekrutmen tetap terjaga.Dengan solusi yang adil, polemik ini diharapkan dapat segera terselesaikan.(Kabarjawa)