Kabarjawa – Sejarah kelam seringkali menyimpan cerita yang penuh misteri dan kejutan. Salah satu kisah penuh ironi yang masih diingat oleh masyarakat adalah lenyapnya Dukuh Legetang di Dieng dalam semalam.
Keindahan dan Kesuburan Dukuh Legetang
Dukuh Legetang, yang terletak di dataran tinggi Dieng, dikenal karena tanahnya yang sangat subur. Warga setempat menggantungkan hidup dari hasil perkebunan yang melimpah. Namun, nasib tragis menimpa dukuh ini pada 17 April 1955. Malam itu, hujan lebat mengguyur wilayah tersebut, dan sekitar pukul 23.00 WIB, suara gemuruh menggelegar terdengar hingga ke desa-desa sekitarnya.
Bencana yang Menghapus Dukuh Legetang
Suara gemuruh yang diduga berasal dari longsoran Gunung Pengamun-amun mengubur seluruh dukuh. Ketika pagi tiba, Dukuh Legetang telah rata dengan tanah, berubah menjadi bukit yang menimbun segala kehidupan di bawahnya. Tragedi ini mengubur sekitar 351 orang, hanya menyisakan satu orang yang selamat dengan cerita yang masih simpang siur.
Narasi Mistis di Balik Tragedi
Di balik bencana tersebut, masyarakat setempat mempercayai adanya azab yang menimpa akibat perilaku menyimpang warga Legetang. Dukuh ini dikenal dengan berbagai aktivitas yang dianggap menyimpang, seperti perjudian dan prostitusi, bahkan dikabarkan mushala setempat digunakan untuk aktivitas tidak terpuji.
Kisah yang Menjadi Peringatan
Narasi ini semakin kuat dengan kepercayaan bahwa longsoran dari Gunung Pengamun-amun melompati sungai dan langsung menghantam Dukuh Legetang, seolah-olah mengarahkan azab khusus ke wilayah itu. Tragedi ini meninggalkan trauma mendalam bagi masyarakat Pekasiran, mengingatkan mereka akan pentingnya menjaga moral dan keimanan.
Monumen Peringatan
Sebagai pengingat peristiwa tragis tersebut, pemerintah setempat mendirikan sebuah tugu peringatan yang masih berdiri hingga kini. Tugu tersebut mencatat kejadian pada 16/17 April 1955, mengenang 332 warga Dukuh Legetang dan 19 tamu dari desa lain yang menjadi korban longsoran.
Refleksi dan Pembelajaran
Hilangnya Dukuh Legetang membawa pesan penting tentang hubungan manusia dengan moralitas dan alam. Peristiwa ini menjadi pelajaran berharga yang terus dikenang oleh generasi selanjutnya di Dieng.(Kabarjawa)