Kabarjawa – Aksara Jawa, atau yang dikenal sebagai Hanacaraka, adalah salah satu peninggalan budaya paling berharga di Nusantara. Selain menjadi sarana tulis-menulis, aksara ini menyimpan kisah legenda yang menginspirasi. Dalam cerita rakyat Jawa, Aji Saka, sang pencipta aksara ini, tidak hanya dikenal karena kecerdasannya, tetapi juga keberanian dan kesetiaan yang menjadi nilai-nilai penting dalam kebudayaan Jawa. Berikut adalah kisah lengkap di balik terciptanya aksara Hanacaraka.
Sejarah dan Asal Usul Aksara Jawa
Aksara Jawa merupakan turunan dari aksara Brahmi India, melalui aksara Kawi. Menggunakan sistem tulisan abugida, aksara ini tidak hanya digunakan untuk bahasa Jawa, tetapi juga bahasa lain seperti Sunda, Madura, Sasak, dan Melayu. Aksara ini mulai digunakan sejak abad ke-15 hingga ke-20 dan menjadi saksi bisu perkembangan peradaban di Nusantara.
Meskipun saat ini aksara Latin lebih banyak digunakan, aksara Jawa tetap hidup melalui sastra, pelajaran di sekolah, dan upaya pelestarian budaya di wilayah Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Pengembaraan Aji Saka ke Tanah Jawa
Legenda dimulai dengan perjalanan Aji Saka, seorang pemuda cerdas dari Hindustan, yang berlayar ke Tanah Jawa bersama dua sahabat setianya, Dora dan Sembada. Ketiganya singgah di Pulau Majeti untuk beristirahat. Sebelum melanjutkan perjalanan ke Medang Kamulan, Aji Saka menitipkan keris pusakanya kepada Dora dengan pesan agar tidak memberikannya kepada siapa pun kecuali dirinya.
Aji Saka dan Sembada kemudian tiba di Medang Kamulan, sebuah negeri subur yang tengah menderita di bawah kekuasaan Raja Prabu Dewata Cengkar. Raja yang kejam ini kerap meminta korban manusia untuk dijadikan santapan sehari-hari.
Aji Saka Melawan Prabu Dewata Cengkar
Setelah mendengar keluhan rakyat, Aji Saka bertekad untuk mengakhiri kekejaman Prabu Dewata Cengkar. Ia menyusun rencana cerdas dan menawarkan dirinya sebagai korban, dengan satu syarat: raja harus memberikan tanah seluas kain ikat kepalanya.
Prabu Dewata Cengkar menyetujui syarat tersebut. Namun, kain yang direntangkan Aji Saka terus memanjang hingga memenuhi istana dan membawa sang raja ke tebing Laut Selatan. Dalam keserakahannya, Prabu Dewata Cengkar terjerumus ke laut dan berubah menjadi buaya putih. Dengan demikian, Aji Saka berhasil membebaskan rakyat Medang Kamulan dan diangkat menjadi raja.
Pertarungan Dua Sahabat Setia
Sebagai raja, Aji Saka teringat akan keris pusakanya yang dititipkan kepada Dora. Ia pun mengutus Sembada untuk mengambil keris tersebut. Namun, setibanya di Pulau Majeti, Dora menolak menyerahkan keris itu kepada Sembada karena terikat janji kepada Aji Saka.
Perdebatan antara keduanya memuncak hingga terjadi perkelahian. Dalam pertarungan tersebut, Dora dan Sembada, yang sama-sama setia kepada Aji Saka, akhirnya tewas. Mendengar kabar ini, Aji Saka sangat berduka. Untuk mengenang kesetiaan kedua sahabatnya, ia menciptakan aksara Hanacaraka, yang menggambarkan peristiwa ini:
- Ha Na Ca Ra Ka (Ada utusan)
- Da Ta Sa Wa La (Saling berselisih pendapat)
- Pa Dha Ja Ya Nya (Sama-sama sakti)
- Ma Ga Ba Tha Nga (Sama-sama menjadi mayat)
Makna dan Warisan Aksara Jawa
Aksara Hanacaraka bukan sekadar sistem tulisan, tetapi simbol nilai-nilai luhur seperti kesetiaan, keberanian, dan pengabdian.
Selain untuk menulis bahasa Jawa, aksara ini juga digunakan untuk mencatat sejarah dan tradisi yang diwariskan kepada generasi berikutnya. Hingga kini, aksara Jawa tetap menjadi bagian penting dari budaya Jawa.
Kisah Aji Saka dan terciptanya aksara Hanacaraka mengajarkan kita tentang arti kesetiaan dan keberanian dalam menjalankan amanah.
Aksara Jawa, sebagai warisan budaya, adalah simbol kebijaksanaan yang tetap relevan hingga hari ini. Melalui upaya pelestarian, kita dapat terus menjaga dan menghormati nilai-nilai luhur yang terkandung dalam aksara ini.(Kabarjawa)