
Kabarjawa – Dalam budaya Jawa, terdapat banyak kepercayaan dan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun.
Salah satu mitos yang cukup dikenal adalah larangan pernikahan antara anak pertama dan anak ketiga. Kepercayaan ini sering disebut sebagai mitos “Weton Jodo” atau aturan perjodohan berdasarkan urutan kelahiran.
Meskipun tidak memiliki dasar ilmiah, kepercayaan ini tetap menjadi perhatian bagi sebagian masyarakat Jawa hingga saat ini.
Asal-Usul Mitos Anak Pertama dan Anak Ketiga
Mitos ini berakar pada kepercayaan masyarakat Jawa tentang keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan rumah tangga.
Dalam tradisi Jawa, harmoni dianggap sebagai kunci utama kebahagiaan dan keberlangsungan sebuah keluarga.
Anak pertama, yang sering dipandang sebagai pemimpin dan pembawa tanggung jawab besar, dianggap memiliki karakter yang tegas dan dominan.
Di sisi lain, anak ketiga diyakini memiliki sifat yang cenderung mandiri tetapi lebih santai dan tidak terlalu terikat dengan aturan.
Keyakinan ini mengarah pada anggapan bahwa hubungan antara anak pertama dan anak ketiga bisa menimbulkan konflik karena perbedaan karakter yang signifikan.
Oleh karena itu, banyak orang tua zaman dahulu yang menghindari perjodohan antara kedua urutan kelahiran ini.
Makna Spiritual dalam Kepercayaan Jawa
Dalam ajaran spiritual Jawa, dikenal istilah “neptu” atau perhitungan weton (hari lahir dalam penanggalan Jawa).
Perhitungan ini sering digunakan untuk mencocokkan pasangan sebelum menikah. Jika perhitungan neptu antara anak pertama dan anak ketiga dianggap tidak sesuai, maka hubungan mereka dipercaya bisa membawa “sial” atau ketidakberuntungan dalam rumah tangga.
Mitos ini juga mencerminkan kepercayaan masyarakat Jawa terhadap harmoni alam semesta. Pernikahan yang tidak sesuai dipercaya dapat mengganggu keseimbangan, baik dalam keluarga maupun dalam kehidupan sosial.
Pandangan Modern tentang Mitos Ini
Seiring perkembangan zaman, banyak generasi muda yang mulai mempertanyakan relevansi mitos ini.
Beberapa dari mereka memilih untuk tidak mempercayai mitos tersebut dan lebih mengedepankan rasa cinta, komunikasi, serta kecocokan antar pasangan.
Para psikolog modern juga menekankan bahwa keberhasilan rumah tangga lebih bergantung pada kemampuan pasangan untuk saling memahami dan bekerja sama, bukan pada urutan kelahiran.
Namun, bagi sebagian masyarakat Jawa, mitos ini tetap dijunjung tinggi sebagai bentuk penghormatan terhadap adat istiadat dan tradisi leluhur.
Cara Menyikapi Mitos dalam Tradisi Jawa
Bagi pasangan yang terpengaruh oleh mitos ini, ada beberapa cara untuk menyikapinya:
- Berkonsultasi dengan Sesepuh: Banyak keluarga yang memilih berdiskusi dengan orang tua atau sesepuh adat untuk mendapatkan solusi terbaik.
- Ruwatan atau Ritual Tradisional: Dalam tradisi Jawa, ada upacara ruwatan yang dilakukan untuk “menetralkan” energi negatif atau ketidakharmonisan yang diyakini berasal dari weton.
- Kompromi dengan Nilai Modern: Pasangan bisa mengedepankan nilai-nilai logis dan modern, seperti komunikasi yang baik dan saling pengertian, tanpa mengesampingkan tradisi.
Mitos tentang larangan pernikahan antara anak pertama dan anak ketiga dalam tradisi Jawa adalah bagian dari kekayaan budaya yang sarat dengan makna spiritual dan filosofi kehidupan.
Meskipun tidak memiliki dasar ilmiah, kepercayaan ini tetap dihormati oleh sebagian masyarakat sebagai bentuk penghargaan terhadap adat istiadat.
Namun, penting bagi generasi masa kini untuk menyikapi mitos ini secara bijak, mengedepankan logika, dan tetap menjaga hubungan yang harmonis dalam keluarga.
Kombinasi antara nilai-nilai modern dan penghormatan terhadap tradisi dapat menjadi solusi yang bijak untuk menjalani kehidupan yang lebih baik.
***